Segala bentuk konten dalam situs tokomakalah.com ini BERHAKCIPTA atau dilindungi oleh Undang-undang. jika anda ingin mendapatkan salah satu konten didalam situs ini, silahkan menghubungi kami. Informasi Selengkapnya, Klik download!
Kebijakan
politik pemerintahan masa reformasi terhadap hukum Islam, khususnya terhadap
bidang besar syariah, yaitu: ibadah, muamalah dan jinayah, mempunyai kaitan
dengan kebijakan politik Negara pada masa orde baru. Kebijakan yang dilakukan
Era Reformasi terhadap bidang ibadah semakin akomodatif dengan diundangkan UU
No. 17 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Ibada Haji, UU No. 38 Tahun 1999
tentang pengelolaan zakat, dan UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Hal ini
terjadi karena nuansa perkembangan masyarakat yang cenderung lebih terbuka dan
lebih akomodatif membuat politik Islam pemerintahan bidang ibadah admosfirnya
lebih berkembang.
Dalam
konteks hukum Islam bidanG ibadah sebagaimana orde baru, pada pemerintahan
reformasi juga tidak melakukan intervensi terhadap umat Islam Indonesia karena
sesuai dengan karakter ajaran bidang hukum ibadah, yakni pelaksanaan ibadah
tidak perlu memerlukan campur tangan Negara. Hukum Islam aspek ibadah
berorientasi kepada pengaturan hubungan manusia dengan Tuhannya yang bersifat ta’abbudi dan tidak memiliki korelasi
lansung dengan dinamika social politik suatu Negara. Kebijakan Negara era
reformasi mendukung secara baik mengenai
regulasi penyelenggaraan dan pengelolaan bidang ibadah.
Untuk
pembahasan lebih lanjut, silahkan baca makalah dibawah.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Dalam konteks
hukum Islam bidang ibadah sebagaimana Orde Baru, pada pemerintahan reformasi
juga tidak melakukan intervensi terhadap umat Islam Indonesia karena sesuai
dengan karakter ajaran bidang hukum ibadah, yakni pelaksanaan ibadah tidak
perlu memerlukan campur tangan Negara.
Dalam proses
tranformasi hukum Islam ke dalam bentuk perundan-undangan Negara, MUI sebagai
sebuah wadah para ulama dan cendikiawan Muslim yang berasal dari ormas dan
kelembagaan Islam selama ini telah diakui sebagai representasi umat Islam, yang
mempunyai otoritas memberikan fakta atau pertimbangan kepada pemerintah dalam
hal yang terkait dengan agama dan umat Islam.
Setiap kebijakan
pemerintah Soeharto pada Era Reformasi, meskipun disana sini terjadi perubahan
dan perbaikan dalam system hukum politih hokum Islam di Indonesia.
Keberlanjutan dan perubahan itu dapat dilihat misalnya pada persoalan kebijakan
penyelenggaraan haji yang merupakan kelanjutan dari masa colonial dan masa orde
baru meskipun kebijakan itu baru berbentuk UU setelah pemerintah Habibie
menyetujui UU No. 17 Tahun 1999. Begitu pula tentang kebijakan zakat yang telah
diatur melalui kebijakan menteri pada masa Orde Baru, kemudian pada masa
Habibie disetjui menjadi UU No. 38 Tahun 1999.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
Kebijakan Negara Terhadap Bidang Ibadah
2. Bagaimana
Kebijakan Negara Terhadap Bidang Muamalah
3. Bagaimana
Kebijakan Negara Terhadap Bidang Jinayah
C.
Tujuan
Masalah
1. Untuk
Mengetahui Kebijakan Negara Terhadap Bidang Ibadah
2. Untuk
Mengetahui Kebijakan Negara Terhadap Bidang Muamalah
3.
Untuk Mengetahui Kebijakan Negara
Terhadap Bidang Jinayah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kebijakan
Negara Terhadap Bidang Ibadah
Kebijakan
politik pemerintahan masa reformasi terhadap hukum Islam, khususnya terhadap
bidang besar syariah, yaitu: ibadah, muamalah dan jinayah, mempunyai kaitan
dengan kebijakan politik Negara pada masa orde baru. Kebijakan yang dilakukan
Era Reformasi terhadap bidang ibadah semakin akomodatif dengan diundangkan UU
No. 17 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Ibada Haji, UU No. 38 Tahun 1999
tentang pengelolaan zakat, dan UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Hal ini
terjadi karena nuansa perkembangan masyarakat yang cenderung lebih terbuka dan
lebih akomodatif membuat politik Islam pemerintahan bidang ibadah admosfirnya
lebih berkembang.
Dalam konteks
hukum Islam bidanG ibadah sebagaimana orde baru, pada pemerintahan reformasi
juga tidak melakukan intervensi terhadap umat Islam Indonesia karena sesuai
dengan karakter ajaran bidang hukum ibadah, yakni pelaksanaan ibadah tidak
perlu memerlukan campur tangan Negara. Hukum Islam aspek ibadah berorientasi
kepada pengaturan hubungan manusia dengan Tuhannya yang bersifat ta’abbudi dan tidak memiliki korelasi
lansung dengan dinamika social politik suatu Negara. Kebijakan Negara era
reformasi mendukung secara baik mengenai
regulasi penyelenggaraan dan pengelolaan bidang ibadah.
Berkenaan dengan
manajemen penyelenggaraan ibadah Haji, sebagaimana diatur dalam UU No. 17 Tahun
1999 tentang penyelenggaraan ibadah haji Negara mengakomodasi dengan cara
membangun manajemen penyelenggaraan haji agar kegiatan ibadah haji mulai dari
mekanisme pendaftaran, perjalanan, akomodasi, dan layanan ibadahnya difasilisi
oleh Negara. Secara substansian UU No. 17 Tahun 1999 menagatur mekanisme
penyelenggaraan ibadah haji, bukan mengatur hal-hal yang sifatnya conteks ajaran. Negara memiliki kewajiban
melayani kepentingan ratusan ribu rakyatnya yang ingin melaksanakan ajaran
agamanya dan terkait pula dengan pemerintahan Negara lain dan menyangkut
ratusan ribu umat Islam yang berangkat dalam waktu yang bersamaan keluar
negeri.
Oleh sebab itu,
UU PIH adalah produk hukum yang mendorong terciptanya kelancaran ibadah Haji
dan Umrah di Tanah Suci, sekaligus sebagai usaha membangun citra bangsa di luar
negeri agar dalam penyelenggaraannya tertib dan teratur.
Adanya UU PIH merupakan bukti akomodasi Negara terhadap ajaran Islam yang
ditunjukkan bagi kepentingan hukum ummat Islam. Akomodasi sebuah produk
perundang-undangan dapat pula dimaknai sebagai upaya pemerintah dan pihak
partai politik untuk merebut simpati dari masyarakat, khususnya umat Islam
menjelang momentum politik pemilu tahun 1999. Bagi Habibie dukungan untuk UU
PIH selain atas pertimbangan desakan masyarakat akan pentingnya UU PIH, tetapi
secra politis dapat pula dikaitkan dengan usaha menarik simpati umat Islam
dalam perpolitikan nasional.
Dukungan
pusat-pusat kekuasaan politik, seperti partai politik, parlemen, ormas
keagamaan, media masa dan pemerintahan serta masyrakat yang baik Muslim maupun
non muslim dalam proses legislasi UU No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan
zakat terlihat positif dan sekaligus sebagai indikator bahwa kebijakan Negara
terhadap bidang ibadah, terutama manajemen zakat menjadi sangat akomodatif dan
responsive terhadap hukum Islam karena Era Reformasi lebih memberi admosfir
keberagaman yang lebih baik, termasuk juga dengan ditandai dengan lahirnya UU
No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
B.
Kebijakan
Negara Terhadap Bidang Muamalah
Kebijakan Negara
terhadap bidang muamalah pada Era Reformasi dapat dibedakan dari sisi pandang ,
yaitu; pertama, kebijakan terhadap
hokum Islam yang secara langsung menggunakan istilah bagian dari syariah baik
dari segi nama produk dan substansinya. Termasuk adalah kelompok ini adalah UU
No. 17 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Penyelenggaraan Ibadah Haji , UU No. 38
Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dan UU No, 18 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus Bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (OTSUS NAD), UU No. 41 Tahun 2004
tentang Wakaf UU No. 3 tahun 2006 tentang Amandemen UU No. 7 tahun 1989 tentang
peradilan Agama, UU Surat Berharga SSyariah Negara dan UU Perbankan Syariah
2008, kedua, kebijakan terhadap hukum
Islam dari segi istilah tidak terlihat langsung, tetapi dari substansi berada
dalam wilayah syariah. Kelompok ajaran ini dapat dilihat dari kebijakan
terhadap UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang system Pendidikan
Nasional. Produk hukum yang lahir dari dua kelompok ini sekaligus menjadi bukti
bahwa di Era Reformasi telah terjadi akomodasi terhadap hukum Islam dan
lembaga-lembaganya, ketiga, kebijakan
terhadap kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan ummat Islam, misalnya
peringatan Hari Besar Islam, Isra’ Mi’raj, Maulid Nabi Saw.
Dalam proses
tranformasi hukum Islam ke dalam bentuk perundan-undangan Negara, MUI sebagai
sebuah wadah para ulama dan cendikiawan Muslim yang berasal dari ormas dan
kelembagaan Islam selama ini telah diakui sebagai representasi umat Islam, yang
mempunyai otoritas memberikan fakta atau pertimbangan kepada pemerintah dalam
hal yang terkait dengan agama dan umat Islam. Pengakuan ini misalnya bisa
dilihat di UU tentang Pangan, yang salah satu pasalnya terkait dengan
pencantuman tanda halal dalam kemasan produk makanan, minuman, kosmetika dan
obat-obatan, harus didasarkan fatwa halal dari MUI. Begitu juga peran MUI dalam
kegiatan lembaga keuangan dan bisnis syariah, di mana lembaga ini mempunyai
otoritas menentukan hal-hal yang berkaitan dengan dimensi syariah sebagai
landasan dalam membuat aturan kebijakan yang terkait dengan regulasi perbankan
syariah di Indonesia.
Semua peraturan
atau regulasi yang di keluarkan BI dan Depkeu terkait dengan aspek syariah
berpijak dan mengacu pada fatwa yang dikeluarkan oleh MUI. Tugasnya, fatwa MUI
telah dijadikan hokum positif di negeri ini melalui regulasi yang dikeluarkan
oleh BI dan departemen keuangan. Hal yang sama selama ini MUI juga diakui
sebagai pemegang otoritas fatwa di negeri ini adalah terkait di bidang
kesehatan, misalnya imunisasi. Sebelum melakukan imunisasi secara missal,
departemen kesehatan meminta fatwa dari MUI terkait dengan kandungan bahan atas
vaksin yang akan dipergunakan imunisasi. Walaupun hal tersebut tidak diharuskan
dalam UU, tapi Departemen kesehatan meminta fatwa dari MUI. MUI diakui sebagai sebuah
lembaga yang mempunyai otoritas mengeluarkan fatwa. Karenanya menjadi logis
jika dalam hal terkait dengan akidah dan syariah Islam (khususnya dalam aliran
sesat), fatwa MUI menjadi rujukan dalam pengambilan kebijakan oleh pemerintah
atau Negara.
Kebijakan
prinsip dan belum pernah dilakukan pada masa pemerintahan sebelumnya adalah
adanya perluasan Absolute Kompetensi Peradilan Agama dengan masuknya ekonomi
syariah menjadi wewenangnya sebagaimana diatur dalam UU No. 3 Tahun 2006
tentang Amandemen terhadap UU No 7 tahun 1989 tentang peradilan Agama. Dalam
bidang perbankan syariah, kebijakan ini terkait dengan akomodirnya system
ekonomi Islam kedalam system perbankan nasional. Misalnya terlihat sejak
diberlakukannya UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan, maka keberadaan bank
syariah dalam system perbankan di Indonesia telah diakui melalui UU. Bahkan,
dapat dikatakan bahwa UU No. 7 tahun 1992 ini merupakan pintu gerbang
dimulainya perbankan syariah di Indonesia. Tahun 1998 dengan diberlakukannya UU
No. 10 tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang
diikuti dengan dikeluarkannya sejumlah ketentuan pelaksanaan dalam bentuk SK
direksi BI baru dianggap telah memberikan landasan hukum yang lebih kuat dan
kesempatan yang lebih luas bagi pengembangan perbankan syariah di Indonesia.
Perundang-undangan tersebut memberikan kesempatan yang lebih luas untuk
pengembangan jaringan perbankan syariah antara lain melalui izin dual banking
system. Selain itu UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia juga menugaskan BI
mempersiapkan perangkat peraturan dan fasilitas-fasilitas penunjang yang
mendukung operasional Bank Syariah. Jaminan terhadap system perbankan syariah
semakin kuat pula dengan keluarnya dua UU yang berkaitan dengan UU SBSN (sukuk)
dan disahkannya RUU perbankan syariah tahun 2008 tanggal 17 juni 2008.
C.
Kebijakan
Negara Terhadap Bidang Jinayah
Syariat Islam
yang berkaitan dengan hukum muamalah, tampaknya telah mendapat perhatian Negara
baik untuk unifikasi maupun kompilasi. Namun, dalam bidang kebijakan dalam
bidang jinayah relative terabaikan atau bahkan ditelantarkan. Besarnya pengaruh
hokum warisan Belanda terhadap system hukum pidana di Indonesia membuat
usaha-usaha berbagi pihak untuk mengurangi pengaruh hukum Belanda sampai
sekarang belum mendapat perhatian berhasil. KUHP warisan Belanda jelas sekali
perumusannya dipengaruhi hukum Kanonik Gereja Katolik, yang merumuskan
perzinahan sebagai hubungan seksual diluar nikah, tetapi dilakukan oleh
pasangan, yang salah satu atau keduanya terikat perkawinan dengan orang lain.
Dengan demikian, menurut KUHP, hubungan seksual diluar nikah antara dua orang
yang tidak terikat perkawinan bukan bentuk dari perzinahan. Perumusan
perzinahan dalam KUHP belanda ini tidak sejalan dengan kesadaran hukum
masyarakat Indonesia. Mereka mengambil rumusan perzinahan dari term hokum
Islam, tetapi ketika dalam pemidanaannya mengambil jenis pemidanaannya dari eks
hokum Belanda, yakni pidan penjara.
Namun,. Pada Era Reformasi, kebijakan bidang jinayah
atau hukum pidana mengalami perkembangan, terutama semenjak adanya Otonomi Daerah
dan keistimewaan yang diberikan kepada daerah Nangroe Aceh Darussalam sebagiman
diatur dalam UU No.18 Tahun 2001 tentang OTSUSNAD. Setelah adanya kewenangan
yang dimiliki NAD untuk penerapkan Syariat Islam tahun 2001, telah dibuat
sejumlah qanun yang berisikan sejumlah tindak pidana. Ini berarti bahwa Syariah
yang diberlakukan di NAD tidak lagi terbatas pada masalah Perdata Islam semata,
tetapi yang juga sudah mencangkup hukum pidana. Sampai saat ini macam-macam
tindak pidana yang bersumber dari Syariat Islam dan sudah diatur dalam Qanun
NAD yang mencangkup, pertama, perbuatan
pidana dibidang aqidah, ibadah dan syiar Islam (Qanun no. 11 tahun 2002), kedua, minuman khamar dan sejenisnya
(Qanun no. 12 tahun 2003), ketiga, maisir
(perjudian)Qanun no. 13 tahun 2003 , keempat,
khalwat (mesum) (Qanun no. 14 tahun 2003), dan kelima, pengelolaan zakat (Qanun no. 7 tahun 2004), kebijakan
Negara dalam bidang jinayah atau hukum pidana Islam pada masa Era Reformasi
dapat disebut bersifat opoposional ,
meskipun dalam kasus tertentu bersifat akomodasi terbatas karena pertimbangan
politis dengan memberikan keistimewaan bagi daerah Nangroe Aceh Darusssalam,
tetapi kekhususan ini tidak dapat berlaku untuk daerah lainya.
Setiap kebijakan pemerintah Soeharto pada Era Reformasi,
meskipun disana sini terjadi perubahan dan perbaikan dalam system hokum politih
hokum Islam di Indonesia. Keberlanjutan dan perubahan itu dapat dilihat
misalnya pada persoalan kebijakan penyelenggaraan haji yang merupakan
kelanjutan dari masa colonial dan masa Orde Baru meskipun kebijakan itu baru
berbentuk UU setelah pemerintah Habibie menyetujui UU No. 17 Tahun 1999. Begitu
pula tentang kebijakan zakat yang telah diatur melalui kebijakan menteri pada
masa Orde Baru, kemudian pada masa Habibie disetjui menjadi UU No. 38 Tahun
1999. Hal yang sama juga terjadi secara berkesinambungan dalam hal
memberikan kekuatan hukum bagi lembaga
peradilan agama yang dimulai dengan memberikan legal standing bagi peradilan
agama melalui UU No. 14 Tahun 1970, kemudian dirubah masa B.J. Habibie dengan
UU No. 35 tahun 1999 tentang Amandemen terhadap UU No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan pokok-pokok kekuasaan
kehakiman dan masa presiden Abdurrahman Wahid dikeluarkan UU No. 18 Tahun 2001
tentang otonomi khusus bagi daerah istimewa Aceh sebagai provinsi Nangroe Aceh
Darusssalam sehingga otonomi hukum Islam terjadi di Aceh dan pada masa presiden
Megawati Soekarno Putri dikeluarkan pula keputusan presiden no. 11 tahun 2003
tentang Mahkamah Syariah di Nangroe Aceh Darussalam. Perubahan dari
ketentuan-ketentuan diatas mengharusan perubahan UU pokok kekuasaan kehakiman
yang kemudian menjadi UU No. 4 tahun 2004 tentang kehakiman. Hal yang paling
mutakhir adalah lahirnya UU No. 7 Tahun 1989.
Meskipun demikian, bilamana suatu produk hukum yang
telah diundangkan masih terdapat pasal-pasal yang kurang proposional atau
secara material dianggap bertentangan dengan UUD 1945 atau berbenturan dengan
produk perundang-undangan yang telah ada, maka jalurnya adalah melalui Mahkamah
Konstitusi (MK). Di sini posisi Mahkamah Konstitusi berperan untuk menilai dan
mengawasi produk UU yang terkait dengan produk hukum yang selaras dengan
pancasila dan UUD 1945 dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Dengan demikian, maka pendapat yang mengatakan bahwa transformasi hokum
Islam dalam perundang-undangan Negara dapat mengancam eksistensi Negara dan UUD
1945 semakin tidak relevan karena dalam membangun system hukum nasional di
Indonesia bersumber dari ketiga sumber hokum, yakni hukum adat, hukum positif
(Belanda) dan hukum Islam dalam nasional merupakan kewajiban berdasarkan amanah
Konstitusi UUD 1945 melalui mekanisme politik yang demokratis atau minimal hukum
Islam harus menjadi referensi bagi pembentukan hukum nasional di Indonesia.
Proses transformasi hokum Islam menjadi hukum nasional ini dinamai sebagai
“teori konstitusi” (the constitution
theory) dan “teori adopsi” (the adoption
theory).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Kebijakan
politik pemerintahan masa reformasi terhadap hukum Islam, khususnya terhadap
bidang besar syariah, yaitu: ibadah, muamalah dan jinayah, mempunyai kaitan
dengan kebijakan politik Negara pada masa orde baru. Kebijakan yang dilakukan
Era Reformasi terhadap bidang ibadah semakin akomodatif dengan diundangkan UU
No. 17 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Ibada Haji, UU No. 38 Tahun 1999
tentang pengelolaan zakat, dan UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
2. Kebijakan
Negara terhadap bidang muamalah pada era reformasi dapat dibedakan dari sisi
pandang , yaitu; pertama, kebijakan
terhadap hokum Islam yang secara langsung menggunakan istilah bagian dari
syariah baik dari segi nama produk dan substansinya. Termasuk adalah kelompok
ini adalah UU No. 17 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Penyelenggaraan Ibadah Haji
, UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dan UU No, 18 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (OTSUS NAD), UU
No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf UU No. 3 tahun 2006 tentang Amandemen UU No. 7
tahun 1989 tentang peradilan Agama, UU Surat Berharga Syariah Negara dan UU
Perbankan Syariah 2008, kedua, kebijakan
terhadap hokum Islam dari segi istilah tidak terlihat langsung, tetapi dari
substansi berada dalam wilayah syariah. Kelompok ajaran ini dapat dilihat dari
kebijakan terhadap UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang system
Pendidikan Nasional.
3. Syariat
Islam yang berkaitan dengan hukum muamalah, tampaknya telah mendapat perhatian
Negara baik untuk unifikasi maupun kompilasi.
B.
Saran
Dalam makalah ini, tentu masih
banyak kekurangan dan kesalahan dalam kesempurnaan pada makalah ini. Sebagai
penulis kami mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca yang bersifat
membangun demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qardhawi Yusuf. Fiqh Muqasid Syariah. Pustaka Qautshar.
Jakarta. 2007.
Halim Abdul. Politik Hukum Islam di Indonesia. Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI.
Jakarta. 2008.
Nasution Harun. dasar pembaharuan dalam Islam. Pustaka
Pajimas. Jakarta. 1985.
Belum ada tanggapan untuk "Makalah Kebijakan Negara Terhadap Bidang Ibadah, Muamalah, Jinayah"
Posting Komentar