Segala bentuk konten dalam situs tokomakalah.com ini BERHAKCIPTA atau dilindungi oleh Undang-undang. jika anda ingin mendapatkan salah satu konten didalam situs ini, silahkan menghubungi kami. Informasi Selengkapnya, Klik download!
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Kewarisan merupakan himpunan
peraturan-peraturan hukum yang mengatur cara pengurusan hak-hak dan kewajiban
seseorang yang telah meninggal dunia oleh ahli waris atau badan hukum lainnya.
Mengenai orang hilang (Mafqud) yang terputus beritanya sehingga tidak
diketahui hidup-matinya, membuat masyarakat mencari keadilan ke Pengadilan
Agama untuk mendapatkan ketetapan bahwa si mafqud meninggal dunia secara hukum.
Perkara tersebut menarik untuk dikaji karena permasalahan hak waris mafqud
menjadi kendala dalam proses pembagian harta warisan, yang mana status si
mafqud tersebut tidak bisa diidentifikasi dengan jelas apakah masih hidup atau
sudah meninggal dunia. Persoalan ini menjadi rumit karena, peraturannya secara
rinci tidak terkodifikasi dalam peraturan yang berlaku baik, dalam al-Quran,
hadis maupun dalam undang-undang yang berlaku. Dapatkah hak waris mafqud
tersebut diperoleh?,
Begitu juga
dengan orang banci (Khunsta) Pada prinsipnya Allah SWT menciptakan
manusia hanya dari dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan. Kedua alat kelamin tersebut mempunyai urgensi yang
tidak dapat diragukan lagi kebenarannya untuk menentukan seseorang kepada jenis
laki-laki atau perempuan. Tidak ada alat kelamin yang lain yang dapat digunakan
untuk menentukan suatu makhluk kepada jenis ketiga.
Dalam hal-hal tertentu hukum membedakan ketentuan antara laki-laki dan
perempuan, antara lain dalam hal pusaka mempusakai dimana Allah SWT telah
menjelaskan pusaka laki-laki dan perempuan sejelas-jelasnya dalam ayat
mawarist, tetapi tidak menjelaskan pusaka khuntsa. sehingga dengan
demikian dari pemaparan tersebut manarik untuk dibahas bagaimana pewarisan
orang yang hilang (mafqud) dan orang banci (Khunsta). yang mana
hal ini penulis akan merumuskan masalah sebagai berikut. dan akan dijelaskan
lebih lanjut di bab selanjutnya.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Orang Hilang (Mafqud)
a.
Apa definisi orang hilang (mafqud)?
b.
Bagaimana cara menentukan batas waktu penentuan
kematian orang hilang (mafqud)?
c.
Bagaimana pewarisan orang hilang (mafqud)?
2.
Orang Banci (Khunsta)
a.
Apa definisi orang banci (khunsta)?
b.
Bagaimana pewarisan untuk seorang banci (khunsta)?
C.
TUJUAN
1. Untuk mengetahui definisi orang
hilang (mafqud), cara menentukan batas waktu kematian orang hilang (mafqud),
dan cara pewarisan orang hilang (mafqud).
2. Untuk mengetahui definisi orang banci (khunsta), dan cara pewarisan
orang banci (khunsta)
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Orang Hilang (Mafqud)
a.
Definisi Orang Hilang (Mafqud)
Mafqud adalah orang yang pergi menjadi hilang tak tentu
rimbanya, tak diketahui tempat tinggalnya, dan alamatnya, juga tidak diketahui
apakah orang itu masih hidup atau sudah meninggal dunia.
b.
Batas Waktu Penentuan Kematian Orang
Hilang (Mafqud)
dalam
menentukan batas waktu penentuan kematian mafqud hakim memutuskan kematian
mafqud ada kalanya jika berdasarkan bukti yang otentik, yang dibenarkan oleh Syari’at
yang dapat menentukan suatu ketetapan hukum. Begitu juga dengan para ulama yang
mana terdapat perselisihan dalam menentukannya di antaranya sebagai berikut:
·
Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Imam
Syafi’i, dan Muhammad bin Al-Hasan berpendapat bahwa si mafqud boleh diputuskan kematiannya oleh
hakim bila sudah tidak ada seorangpun dari kawan sebayanya yang masih hidup.
Secara pasti waktu tersebut tidak dapat ditentukan, oleh karenanya beliau
menyerahkan kepada ijtihad hakim. Disetiap tempat hakim dapat memberi vonis
kematian si mafqud menurut ijtihad-nya demi suatu kemaslahatan.
·
Imam Malik, dalam salah satu pendapatnya menetapkan waktu yang
diperbolehkannya bagi hakim memberi vonis kematian si mafqud ialah empat
tahun.
·
Abdul Malik ibnul Majisyun berpendapat bahwa agar si mafqud tersebut mencapai umur
90 tahun beserta umur sewaktu kepergiannya. sedangkan Ibnu Abdul-Hakam
menetapkan supaya si mafqud ditunggu sampai genap 70 tahun dengan umur
sewaktu kepergiannya.
·
Imam Ahmad, menetapkan waktu diperkanankannya seorang hakim
memutuskan kematiannya. Dengan mengingat
situasi hilangnya mafqud.
·
kitab Undang-Undang Hukum Warisan
Mesir yang lama No. 15 Tahun 1929 Pasal 21 menyebutkan sebagai berikut:
“diputuskan
kematian si mafqud yang bepergian membawa malapetaka setelah empat tahun dari
tanggal keprgiannya. adapan dalam keadaan-keadaan yang lain, maka urusan waktu
yang diperkenankan untuk memutuskan kematian si mafqud, setelah kepergiannya
diserahkan kepada hakim.
yang
demikian itu setelah diadakan penelitan dengan seluruh cara atau jalan yang
mungkin yang dapat menunjukkan apakah ia masih hidup atau sudah meninggal”.
c.
Cara Pewarisan Orang Hilang (Mafqud)
Dalam proses pembagian pewarisan
orang hilang kita membuat suatu masalah yang mana masalahnya dengan
memperkirakan si mafqud masih hidup atau telah meninggal, menurut ketentuan Ilmu
Ushul Fiqh, harta bagi orang yang mafqud yang belum ditentukan orang itu
meninggal dunia, masih tetap belum dapat diwarisi karena orang itu berdasarkan Istishaabul
Haal masih dipandang hidup, sehingga hartanya masih tetap miliknya.
Lain halnya jika orang mafqud
dinyatakan meninggal dunia oleh hakim berdasarkan bukti yang otentik, maka
hartanya dapat dibagikan kepada ahli warisnya yang berhak. Dan jika dikemudian
hari orang yang mafqud dan dinyatakan mati oleh hakim tersebut masih hidup dan
kembali untuk mengambil hartanya, maka harta yang diberikan kepadanya ialah
harta yang masih sisa yang telah diterima oleh ahli waris. Dan harta waris yang
telah habis digunakan oleh ahli waris, ahli waris tidak perlu mengganti, dan
tidak dapat dituntut untuk menganti barang yang telah dipergunakan. Mereka
hanyalah wajib mengembalikan barang yang masih sisa. karena mereka (ahli waris)
menerima keputusan (karena melaksanakan keputusan hakim). Dan ini bukan berarti
mutlak tanpa melihat motif penggunaan barang warisan tersebut. Kalau sekiranya
penggunaan warisan tersebut bermaksud untuk menghindari pengembalian barang
sekiranya orang yang dinyatakan mati tadi kembali lagi. maka si ahli waris tersebut dapat dituntut
untuk mengembalikan warisan yang diterimanya.
2.
Orang Banci (Khuntsa)
a.
Definisi Orang Banci (Khuntsa)
Orang banci (khunsta) adalah orang yang mempunyai dua tanda
kelamin, baik laki-laki maupun perempuan, atau tidak mempunyai tanda-tanda yang
jelas, apakah laki-laki atau perempuan. Seorang khuntsa ada yang masih dapat
diketahui atau diidentifikasi jenis kelaminnya Khuntsa seperti ini disebut khuntsa
ghairu musykil. Jika seorang khuntsa tidak mungkin lagi untuk
diidentifikasi jenis kelaminnya, maka orang itu disebut khuntsa musykil.
Dalam menetapkan seorang khuntsa itu sebagai laki-laki
atau perempuan, maka dapat menempuh dengan dua cara:
Pertama, yaitu dengan cara
meneliti tempat keluarnya air kencing, cara ini merupakan cara yang disepakati
para ulama dalam menetapkan tanda untuk membedakan jenis kelamin khuntsa
tersebut. Apabila khuntsa kencing melalui zakar maka
ia dianggap sebagai laki-laki dan karenanya dapat mewarisi sebagaimana orang
laki-laki. Dan apabila khuntsa kencing melalui farj maka ia
dianggap sebagai perempuan dan karenanya ia dapat mewarisi sebagaimana orang
perempuan
Dasar yang digunakan untuk menetapkan laki-laki atau
perempuan seorang khuntsa melalui cara pertama ialah sabda Rasulullah yang
diriwayatkan Ibnu Abbas ketika Rasul pernah ditanya tentang kewarisan seorang
anak yang mempunyai qubul dan zakar. Ketika itu
beliau sedang menimang anak khuntsa Anshar. Sabdanya:
ورّثوا من اوّل
ما يبول. (روه ابن عباس)
”Berikanlah warisan anak khuntsa
ini (seperti bagian anak laki-laki atau perempuan) mengingat dari alat kelamin
yang mula pertama dipergunakannya berkencing.”
Alasan menetapkan cara kencing ini sebagai tanda yang
ditetapkan oleh Rasulullah SAW untuk mengetahui jenis kelamin karena hal
tersebut merupakan tanda umum yang dapat ditemukan pada anak kecil dan orang
dewasa. Sedangkan tanda lainnya seperti tumbuh kumis dan janggut pada laki-laki
dan tumbuh payudara pada perempuan baru akan diketahui setelah dewasa.
Selanjutnya, apabila khuntsa kencing melalui kedua alat
kelamin tersebut, maka harus diteliti dari alat kelamin mana yang lebih dulu
keluar air seninya. Apabila keluarnya secara bersamaan maka tanda selanjutnya
adalah dari alat kelamin mana air seni tersebut keluar paling banyak.
Kedua, dengan cara melihat
tanda-tanda kedewasaannya. Apabila dengan melihat alat
kelamin yang dipergunakan dalam membuang air kecil tidak berhasil, maka dapat
ditempuh dengan melihat ciri-ciri atau tanda-tanda kedewasaan bagi si
khuntsa. Ciri-ciri spesifik bagi laki-laki antara lain: tumbuh kumis dan
janggut, suaranya berubah menjadi besar, keluarnya sperma lewat zakar, timbul
jakun di lehernya, dan ada kecenderungan mendekati perempuan. Sedangkan
ciri-ciri spesifik bagi perempuan antara lain: membesarnya payudara, datangnya
haid dan ada kecenderungan mendekati laki-laki.
Khuntsa yang dapat ditentukan statusnya berdasarkan
tanda-tanda atau cara-cara tersebut diatas dinamakan Khuntsa ghair musykil.
Sedangkan khuntsa yang sulit ditetapkan jenisnya baik dengan cara meneliti alat
kelamin yang dipergunakan kencing, ciri-ciri khusus, keterangan dokter, maupun
pengakuan sendiri, dinamakan Khuntsa musykil. sehingga kesulitan dalam
menentukan jenisnya berakibat pada kesulitan dalam menetapkan pembagian
warisannya.
b.
Cara Pewarisan Orang Banci (Khunsta)
Dalam proses pembagian pewarisan orang
banci kita membuat suatu masalah yang mana masalahnya dengan menentukan si
khunsta tersebut apakah laki-laki atau perempuan. mengenai hukum memberikan
warisan kepada khuntsa musykil terdapat perbedaan pendapat dari para
ulama’
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa khunsta
musykil mendapat bagian terkecil dari dua bagian, yakni bagian apabila
dianggap laki-laki dan bagian apabila dianggap perempuan. Bagian terkecil dari
dua bagian itulah yang akan di berikan kepada khunsta musykil.
Pendapat ini merupakan salah satu dari
dua pendapat mazhab Syafi’i dan merupakan pendapat kebanyakan golongan para Sahabat.
Pendapat diatas didasarkan kepada suatu ketentuan bahwa untuk memiliki harta
benda harus dengan cara meyakinkan. dalam masalah ini terdapat keraguan antara
bagian warisan terkecilkah yang diberikan kepada khunsta musykil atau
bagian warisan terbesar. Untuk menghilangkan keraguan serta memperoleh
keyakinan, maka ditetapkanlah bagian terkecil dari dua cara bagian tersebut.
Sedangkan menurut Mazhab Maliki berpendapat
bahwa khunsta musykil diberi bagian yang pertengahan diantara dua
bagian. Cara menyelesaikannya melalui dua tahap. Tahap pertama dicari
bagian pada saat dia dianggap sebagai laki-laki. tahap kedua dicari
berapa bagian pada saat dianggap perempuan. Bagian pada tahap pertama ditambah
pada bagian tahap kedua, kemudian hasilnya dibagi dua. Itulah bagian yang
diberikan kepada khunsta musykil tersebut.
Contoh
Seseorang meninggal dunia, meninggalkan ahli waris suami,
ibu, dan seorang saudara khunsta musykil sekandung, harta warisannya
berjumlah Rp36.000.000,00.
penyelesaian:
Tahap pertama
Suami : 1/2
Ibu :1/3
Saudara khunsta sekandung (dianggap laki-laki)= ashabah
Asal masalah (KPK): 6
Suami :
½ x 6 = 3
Ibu : 1/6 x 6 = 2
Saudara khunsta
(Lk) : 6 – 5 = 1
Jumlah...............................=
6
Suami : 3/6 x Rp36.000.000,- =
Rp18.000.000,-
Ibu : 2/6 x Rp36.000.000,- =
Rp12.000.000,-
Saudara khunsta (lk)
: 1/6 x Rp36.000.000,- = Rp 6.000.000,-
Tahap kedua
Suami :
½ x 6 = 3
Ibu :
1/3 x 6 = 2
Saudara khunsta
(dianggap perempuan) : ½ x 6 = 3
Jumlah........................................................=
8
Karena jumlahnya melebihi asal masalah, maka perlu di
Aulkan. sehingga perolehannya:
Suami :
3/8 x Rp36.000.000,- = Rp13.500.000,-
Ibu : 2/8 x Rp36.000.000,- = Rp 9000.000,-
Saudara khunsa (pr)
: 3/8 x Rp36.000.000,- = Rp13.500.000,-
Dengan demikian, kalau dipakai pendapat Mazhab Hanafi maka
bagian khunsta tersebut adalah tahap pertama Rp6.000,000. Sedangkan kalau
menurut pendapat Mazhab Maliki hasil penjumlahan tahap pertama dengan tahap
kedua yaitu Rp 6.000,000 + Rp13.500,00 kemudian dibagi dua (Rp19.500,000 : 2 =
Rp9.750,000)
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Mafqud adalah orang yang pergi menjadi hilang tak tentu rimbanya, tak diketahui
tempat tinggalnya, dan alamatnya, juga tidak diketahui apakah orang itu masih
hidup atau sudah meninggal dunia. Dengan demikian terdapat kesulitan dalam
pembagian warisan orang mafqud. sehingga terdapat banyak perbedaan dikalamgan
ulama’. Begitu juga dengan khuntsa, Khuntsa adalah orang yang
mempunyai dua tanda kelamin, baik laki-laki maupun perempuan, atau tidak
mempunyai tanda-tanda yang jelas, apakah laki-laki atau perempuan. Seorang
khuntsa ada yang masih dapat diketahui atau diidentifikasi jenis kelaminnya khuntsa
seperti ini disebut khuntsa ghairu musykil. Jika seorang khuntsa tidak
mungkin lagi untuk diidentifikasi jenis kelaminnya, maka orang itu disebut khuntsa
musykil. sama halnya dalam pembagian warisan yang mana terdapat kesulitan
dalam membaginya, sehingga untuk lebih mudah harus menentukan jenis kelamin
dari khuntsa tersebut sehingga akan jelas apakah itu perempuan atau laki-laki
dengan demikian ketika telah diketahui jenis kelaminnya maka akan lebih mudah
dalam pembagian warisan.
B.
SARAN
Dari
makalah yang sudah dipaparkan diatas kami berharap memberikan manfaat yang
banyak walaupun makalah ini sangat jauh dari sifat kesempurnaan. Dapat memahami
dan mengamalkannya adalah sebuah harapan besar dari kami. Mohon maaf apabila
ada kesalahan dalam mennyusun dan memaparkan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Belum ada tanggapan untuk "Mafqud dan Khunsta Makalah Lengkap"
Posting Komentar