Segala bentuk konten dalam situs tokomakalah.com ini BERHAKCIPTA atau dilindungi oleh Undang-undang. jika anda ingin mendapatkan salah satu konten didalam situs ini, silahkan menghubungi kami. Informasi Selengkapnya, Klik download!
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Seperti
kita ketahui, pada prinsipnya Al-Qur’an merupakan norma-norma dasar. Oleh
karena itu, dalam menentukan hukuman, Al-Qur’an memberikan pola dasar yang
umum. Karena bukan merupakan kitab hukum, AL-Qur’an tidak merinci bentuk-bentuk
perilaku kejahatan serta rincian hukumannya.
Pemberian
pola dasar yng bersifat umum tersebut memberikan keleluasaan bagi masyarakat
untuk menyesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat tersebut. Masyarakat
diberi kesempatan mengurus kepentingannya untuk menciptakan dan mengadakan
hukuman yang sesuai dengan kepentingan masing-masing. Namun demikian, syari’at
dalam hal ini menentukan beberapa jenis perbuatan tertentu yang dianggap
sebagai kejahatan.
Jenis-jenis kejahatan yang telah ditentukan syari’at
berikut hukumannya itu pada prinsipnya adalah apa yang dikehendaki syari’at
dalam pemeliharaan dan keharusan keberadaannya yang sifatnya sangat urgen.
Kelonggaran Dalam keberadaan jenis-jenis kejahatan tersebut berakibat sangat
fatal bagi kehidupan kemanusiaan. Hal-hal yang sangat dharury itu ditujukan
untuk pemeliharaan terhadap jiwa, akal pikiran, agama harta, dan keturunan.
Semua jenis kejahatan yang telah ditentukan mencerminkan tujuan-tujuan dan
konsistensi syari’at dalam mewujudkan kelestarian lima hal tersebut.
Adapun
selebihnya, yang merupakan bagian terbesar
dari jumlah tindak pidana dan hukuman, diserahkan kepada ulul amri dalam
menentukan jenis pelanggaran maupun bentuk hukumannnya. Kepercayaan yang
diberikan pembuat syari’at dalam menentukan bentuk pelanggaran dan macam hukum tersebut
ditujukan agar penguasa dapat secara leluasa mengatur masyarakatnya.
Bagian
yang tidak ditentukan jenis pelanggarannya dan juga jenis hukumannya, dalam
terminologi fiqh disebut dengan ta’zir. Suatu jenis jarimah dan sanksi hukuman
yang menjadi wewenang ulil amri dalam pengaturannya. Didalam makalah ini akan dibahas jarimah ta’zir atau pengajaran dari
pengertian macam-macam jarimah ta’zir dan hukuman bagi pelaku yang
melanggarnya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian dari Jarimah Ta’zir?
2.
Bagaimana Pembagian Jarimah Ta’zir?
3.
Apa Prinsip Dan Tujuan Dari Jarimah Ta’zir?
4.
Apa Sanksi Dan Hukuman Dari Jarimah Ta’zir?
C.
Tujuan
1.
Untuk Mengetahui Tentang Pengertian Jarrimah Ta’zir
2.
Untuk Mengetahui Tentang Pembagian Ta’zir
3.
Untuk Mengetahui Tentang Prinsip Dan Tujuan Ta’zir
4.
Untuk Mengetahui Tentang Sanksi Dan Hukuman Dari Jarimah Ta’zir
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ta’zir
Secara Etimologis Ta'zir merupakan mashdar dari
(عَزَّرَ – يُعَزِّرُ) yang berarti menolak dan
mencegah kejahatan, juga berarti (نَصَرَهُ) yakni menolong atau menguatkannya. Adapun pengertian Ta’zir
secara Terminologis adalah hukuman pelajaran atas
dosa (tindak pidana) yang belum ditentukan hukumannya oleh syar’i, seperti pengajaran
terhadap seseorang yang mencaci maki pihak lain, tetapi bukan menuduh (orang
lain berbuat zina).
Ta’zir memang bukan termasuk dalam kategori hukuman
hudud. Namun, bukan berarti tidak boleh lebih keras dari hudud, bahkan sangat
dimungkinkan diantara sekian banyak jenis dan bentuk ta’zir berupa hukuman
mati.
Dengan demikian, ta’zir adalah sebuah sanksi hukum
yang diberlakukan kepada seorang pelaku jarimah atau tindak pidana yang
melakukan pelanggaran-pelanggaran, baik berkaitan dengan hak Allah maupun hak
manusia dan pelanggaran-pelanggaran dimaksud tidak masuk dalam kategori hukuman
hudud dan kafarat. Oleh karena hukuman ta’zir tidak ditentukan secara langsung
oleh Al-qur’an dan hadis maka jenis hukuman ini menjadi kompetensi hakim atau
penguasa tempat.
Menurut Imam Hanafi Ta’zir adalah hukuman atau sangi
yang bertujuan memberikan pengajaran kepada pelaku kejahatan agar tidak
mengulangi lagi.
Sementara para fuqoha' mengartikan ta'zir dengan
hukuman yang tidak ditentukan oleh al-Qur'an dan hadits yang berkaitan dengan
kejahatan yang melanggar hak Allah dan hak hamba yang berfungsi untuk memberi
pelajaran kepada pelaku kejahatan dan mencegahnya untuk tidak mengulangi
kejahatan serupa.
Menurut Beberapa definisi yang telah disebutkan diatas
dapat kami simpulkan bahwa Ta’zir adalah Bentuk hukuman yang tidak ditentukan
oleh syara’ akan tetapi dalam hal
hukuman tersebut diserahkan kepada hakim atau ulil amri.
Ta’zir tidak disebutkan secara tegas didalam Al-qur’an
dan hadis-hadis-hadis Rasulullah. Maka, untuk menentukan jenis dan ukurannya
menjadi wewenang hakim atau penguasa setempat. Dalam memutuskan jenis dan
ukuran sanksi ta’zir, harus tetap memperhatikan isyarat-isyarat dan petunjuk nash
keagamaan secara teliti, baik, mendalam, karena hal ini menyangkut kepentingan
dan kemaslahatan umum atau masyarakat dalam sebuah negara.
Dengan demikian ciri khas jarimah ta'zir adalah sebagai
berikut:
1.
Hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas,artinya
hukuman tersebut belum ditentukan oleh syara' dan ada batas minimal dan ada
batas maksimal.
2.
Penetapan hukuman tersebut adalah hak hakim.
B.
Pembagian Ta’zir
Imam
muhammad Abu Zahrah membagi hukuman ta’zir menjadi dua bagian, pembagian ini
ditinjau dari segi hak yang dilanggar oleh pelaku, yaitu hukuman ta’zir yang
berkaitan dengan pelanggaran terhadap hak Allah, dan hukuman ta’zir yang
berkaitan dengan pelanggaran terhadap hak manusia. Ia mnjelaskan bahwa
sanksi-sanksi takzir sama dengan sanksi-sanksi yang telah ditentukan
(qishas/hudud), sebagian merupakan hak Allah dan sebagian merupakan hak
manusia.
Beberapa
contoh pelanggaran yang berkaitan dengan Hak Allah dan pelakunya harus dihukum
Ta’zir, seperti perbuatan dan ajaran-ajaran bid’ah yang merusak dan mengacaukan
kebenaran agama islam, mencaci Nabi Muhammad dan melecehkannya, penculikan dan
perdagangan bayi dan wanita untuk dipekerjakan menjadi PSK (pekerja seks
komersial), produsen dan pengedar khamar /narkoba, manipulasi, dan
penipuan-penipuan dalam berbisnis, ghasab, risywah, memakan riba, dan kesaksian
palsu.
Sedangkan
contoh pelangggaran yang berkaitan dengan hak manusia seperti, dalam kasus
pembunuhan syibhu’ amdin (sengaja). Dalam hal ini, disamping adanya kewajiban
pemberian diyat oleh pelaku kepada keluarga korban, masih terdapat satu sanksi
hukum berupa ta’zir untuk memelihara hak manusia, Demikian pula dalam masalah
penganiayaan yang tidak mungkin dihukum qisas, juga berlaku hukum ta’zir.
Mencium dan melakukan adegan yang tidak senonoh dengan seorang wanita yang
bukan istrinya, mencuri barang berharga tetapi tidak mencapai nisab syar’i ,
berkhianat terhadap amanat, mencaci dan
menyakiti bukan dengan lafal qadzaf.
C.
Prinsip Dan Tujuan Ta’zir
a.
Prinsip Penjatuhan Hukuman
prinsip
penjatuhan ta’zir, terutama yang berkaitan dengan ta’zir yang menjadi wewenang
penuh ulil amri, artinya baik bentuk maupun jenis hukumannya merupakan hak
penguasa, ditujukan untuk menghilangkan sifat-sifat mengganggu ketertiban atau
kepentingan umum, yang bermuara pada kemaslahatan umum.
Ketertiban
umum atau kepentingan umum sebagaimana kita ketahui sifatnya labil dan berubah
sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan. Kepentingan hari ini mungkin lain dengan hari esok, demikian pula
kemaslahatan di suatu ttempat lain dengan tempat yang berbeda. Oleh karena itu,
seandainya suatu saat “kepentingan”
tersebut suddah tidak penting lagi, atau sudah tidak maslahat lagi,
peraturannya harus diganti. Itu berarti
sesuatu yang dianggap jarimah pada suatu waktu atau suatu tempat, dianggap
bukan jarimah pada waktu yang lain, kalu kriteria kemaslahatan atau
kepentingannya sudah tidak tampak lagi.
b.
Tujuan Penjatuhan Ta’zir
Hukuman ta’zir dilihat
dari segi penjatuhannya terbagi alam beberapa tujuan, yaitu:
1)
Hukuman ta’zir sebagai hukuman tambahan atau pelengkap hukuman
pokok.
2)
Hukuman ta’zir sebagai hukuman pengganti hukuman pokok.
3)
Hukuman ta’zir sebagai hukuman pokok bagi jarimah ta’zir syara’.
D.
Sanksi Dan Hukumannya
Dalam
uraian yang lalu telah dikemukakan bahwa hukuman ta’zir adalah hukuman yang
belum ditetapkan oleh syara’ dan diserahkan kepada ulil amri untuk
menetapkannya. Hukuman ta’zir ini jenisnya beragam, namun secara garis besar
dapat dikelompokkan kepada 4 kelompok, yaitu sebagai berikut:
1.
Hukuman Ta’zir Yang Berkaitan Dengan Badan
a.
Hukuman Mati
Hukuman
mati ditetapkan sebagai hukuman qishas untuk pembunuhan sengaja dan sebagai
hukuman had untuk jarimah hirabah, zina muhson dan jarimah pemberontakan. Untuk
jarimah ta’zir, hukuman mati ini diterapkan oleh para fuqaha secara beragam.
Hanafiyah membolehkan kepada ulil amri untuk menerapkan hukuman mati sebagai
ta’zir dalam jarimah-jarimah yang jenisnya diancam dengan hukuman mati apabila
jarimah tersebut dilakukan berulang-ulang. Contohnya pencurian yang berulang-ulang
dan menghina nabi beberapa kali yang dilakukan oleh kafir dzimmi, meskipun
setelah itu ia masuk islam.
Malikiyah
juga membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir untuk jarimah ta’zir tertentu,
seperti spionese dan melakukan kerusakan dimuka bumi. Pendapat ini juga
dikemukakan oleh sebagian fuqaha Hanabilah, Seperti Imam ibn Uqail. Sebagian
fuqaha Syafi’iyah membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir dalam kasus
penyebaran aliran-aliran sesat yang menyimpang dari ajaran al-qur’an dan
assunah. Hukuman mati bisa diterpkan
kepada pelaku homoseksual (liwath), peminum khamar untuk ke empat kalinya.
Hukuman
mati untuk jarimah ta’zir, hanya dilaksanakan dalam jarimah-jarimah yang sangat
berat dan berbahaya, dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1)
Bila pelaku adalah residivis yang tidak mempan oleh hukuman-hukaman
hudud selain hukum mati.
2)
Harus dipertimbangkan betul dampak kemaslahatan terhadap masyarakat
dan pencegahan terhadap kerusakan yang
menyebar dimuka bumi.
Adapun
alat yang digunakan untuk melaksanakan hukuman mati sebagai ta’zir tidak ada
keterangan yang pasti. Ada yang mengatakan boleh dengan pedang, kursi listrik.
Namun kebanyakan ulama memilih pedang sebagai alat eksekusi, karena pedang
mudah digunakan dan tidak menganiaya
terhukum, karena kematian dengan menggunakan pedang lebih cepat.
b.
Hukuman Jilid (Dera)
Hukuman jilid merupakan salah satu hukuman
pokok dalam hukum Islam dan hukuman yang ditetapkan untuk hukuman hudud dan
hukuman ta’zir. Dalam jarimah ta’zir , hukuman ini sebenarnya juga ditunjuk Al-qur’an
untuk mengatasi masalah kejahatan atau pelanggaran yang tidak ada sanksinya. Walaupun bentuk
hukuman jilid yang tercantum dalam surat An-Nisa’ :34 ditujukan pada tujuan ta’dib bagi istri yang melakukan
nusyuz kepada suaminya.
alat
yang digunakan untuk hukuman jilid yaitu cambuk yang sedang (tidak terlalu
besar dan tidak terlalu kecil) atau tongkat. Hukuman jilid tidak boleh sampai menimbulkan
cacat dan membahayakan organ-organ tubuh orang yang terhukum, apalagi sampai
membahayakan jiwanya, karena tujuannya adalah memberi pelajaran dan pendidikan
kepadanya. Oleh karena itu, pukulan atau cambukan tidak boleh diarahkan ke
muka, farji, dan kepala, melainkan diarahkan kebagian punggung.
2.
Hukuman Yang Berkaitan Dengan Kemerdekaan
a.
Hukuman Penjara
Hukuman penjara
dalam syari’at islam dibagi menjadi dua bagian:
1)
Hukuman penjara yang dibatasi waktunya.
Hukuman penjara terbatas adalah hukuman penjara yang lama waktunya
dibatasi secara tegas. Hukuman penjara terbatas ini diterapkan untuk jarimah
penghinaan, penjual khamar, pemakan riba, melanggar kehormatan bulan suci
ramadan dengan berbuka pada siang hari tanpa uzur, mengairi ladang dengan air
dari saluran tetangga tanpa izin, dan saksi palsu.
Adapun lamanya hukuman penjara ini tidak ada batas yang pasti untuk
dijadikan pedoman umum, dan hal tersebutt diserahkan kepada ijtihad hakim
dengan memperhatikan perbedaan kondisi jarimah, pelaku, tempat, waktu, dan
situasi ketika jarimah itu terjadi.
2)
Hukuman Penjara Yang Tidak Dibatasi Waktunya.
Hukuman
penjara tidak terbatas tidak dibatasi waktunya, melainkan berlangsung terus
sampai orang yang terhukum mati, atau sampai ia bertobat. Dalam istilah lain
bisa disebut hukuman penjara seumur hidup.
Hukuman
penjara seumur hidup dikenakan kepada penjahat yang sangat berbahaya, misalnya
seorang yang menahan orang lain untuk dibunuh oleh orang ketiga, atau seperti orang yang mengikat orang lain,
kemudian melemparkannya ke depan seekor harimau. Menurut Imam Abu Yusuf,
apabila orang tersebut mati dimakan harimau maka pelaku dikenakan hukuman
penjara seumur hidup (sampai ia mati dipenjara).
b.
Hukuman Pengasingan
Hukuman
pengasingan termasuk hukuman had yang diterapkan untuk pelaku tindak pidana
hirabah (perampokan) berdasarkan surat Al-Maidah ayat 33:
اِنَّمَا
جَزَاؤُالَّذِيْنَ يُحَارِبُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَونَ فِى الْآرْضِ
فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوْا أوْيُصَلّبُوا أَوْتُقَطّعَ أيْدِيْهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ
مِنْ خِلفٍ أَوْيُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ... (المائدة:33)
Artinya : Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang
memerangi Allah dan Rasulnya dan membuat kerusakan dimuka bumi, hanyalah mereka
dibunuh atau disalib, atau ipotong tangan dan kaki mereka dengan
bertimbal-balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). (QS. Al-Maidah
: 33).
Meskipun hukuman pengasingan itu merupakan hukuman had, namun dalam
praktinya, hukuman tersebut diterapkan juga sebagai hukuman ta’zir. Hukuman
pengasingan ini dijatuhkan kepada pelaku jarimah yang dikhawatirkan berpengaruh
kepada orang lain sehingga pelakunya harus dibuang (diasingkan) untuk
menghindarkan pengaruh-pengaruh tersebut, Diantaranya jarimah ta’zir yang
dikenakan hukuman pengasingan (buang)
adalah orang yang berperilaku waria, yang pernah dilaksanakan oleh Nabi dengan
mengasingkannya keluar dari madinah.
3.
Hukuman Ta’zir Yang Berkaitan Dengan Harta
a.
Status Hukumnya
Para ulama berpendapat tentang dibolehkannya hukuman ta’zir dengan
cara mengambil harta. Pendapat ini di bolehkan apabila dipandang membawa
maslahat. Pengambilan harta ini bukan semata untuk diri hakim atau untuk kas
umum (Negara), melainkan hanya menahannya untuk sementara waktu. Adapun apabila
pelaku tidak bisa di harapkan untuk bertobat maka hakim dapat men-tasarufkan
harta tersebut untuk kepentingan yang mengandung maslahat.
b.
Macam-Macamnya
Imam
Ibn Taimiyah membagi hukuman ta’zir berupa harta ini kepada tiga bagian, dengan
memperhatikan atsar (pengaruhya) terhadap harta, yaitu:
1)
Menghancurkannya (Al-Itlaafu)
2)
Mengubahnya (At-Tauyiiru)
3)
Memilikinya (At-Tamliiku)
Penghancuran
terhadap barang sebagai hukuman ta’zir berlaku dalam barang-barang dan
perbuatan/sifat yang mungkar. Contohnya seperti:
a.
Penghancuran patung milik orang islam.
b.
Penghancuran alat-alat musik/permainan yang mengandung kemaksiatan.
c.
Penghancuran alat dan tempat minum khamr.
d.
Khalifah umar pernah menumpahkan susu yang bercampur dengan air
untuk dijual, karena apabila susu dicampur dengan air maka sulit mengetahui
kadar susu dari airnya.
Wujud
dari pemilikan harta itu adalah denda
atau Gharamah. Hukuman denda juga merupakan hukuman pokok yang berdiri
sendiri dan dapat pula digabungkan dengan hukum pokok lainnya. Seperti,
penjatuhan hukuman denda terhadap orang yang duduk-duduk dibar tempat minuman
keras, atau denda terhadap orang yang mencuri buah-buahan dari pohonnya.
Penjatuhan
hukuman denda bersama-sama dengan hukuman yang lain bukan merupakan hal yang
dilarang bagi seorang hakim yang mengadili perkara jarimah ta’zir, karena hakim
diberi kebebasan yang penuh dalam dalam masalah ini.
Selain
denda, hukuman ta’zir yang berupa harta adalah penyitaan atau perampasan harta.
Namun hukuman ini diperselisihkan oleh para fuqaha. Jumhur ulama’
membolehkannya apabila persyaratan untuk mendapat jaminan atas harta tidak
dipenuhi. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1)
Harta diperoleh dengan cara yang halal
2)
Harta itu digunakan sesuai dengan fungsinya.
3)
Penggunaan harta itu tidak menggangu hak orang lain.
Apabila
persyaratan tersebut tidak dipenuhi, misalnya harta didapat dengan jalan yang
tidak halal, atau tidak digunakan sesuai dengan fungsinya makna dalam keadaan
demikian ulil amri berhak untuk menerapkan hukum ta’zir berupa penyitaan atau
perampasan sebagai sanksi terhadap perbuatan yang dilakukan oleh pelaku.
4.
Hukuman-Hukuman Ta’zir yang Lain
Disamping
hukuman-hukuman yang telah disebutkan, terdapat hukuman-hukuman ta’zir yang
lain. Hukuman-hukuman tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Peringatan Keras
Peringatan keras dapat dilakukan diluar sidang pengadilan dengan
mengutus seorang kepercayaan hakim yang menyampaikannya kepada pelaku. Isi
peringatan itu misalnya “Telah sampai kepadaku bahwa kamu melakukan
kejahatan... Oleh karena itu jagan kau lakukan lagi hal itu”.
Peringatan keras ini dianggap sebagai hukuman yang lebih rinngan
dibandingkan jika pelaku dipanggil ke hadapan sidang pengadilan. Hal itu
dilakukan karena hakim memandang bahwa perbuatan yang dilakukan oleh pelaku
tidak terlalu berbahaya
b.
Dihadirkan Di Hadapan Sidang
Apabila pelaku
membandel atau perbuatannya cukup membahayakan maka pelaku dapat dipanggil ke
hadapan sidang untuk diberi peringatan keras. Pemanggilan pelaku kedepan sidang
pengadilan ditambah dengan peringatan keras yang disampaikan secara langsung
oleh hakim, bagi orang tertentu sudah takut dan gemetar dalam menghadapi meja
hijau.
c.
Hukuman Nasihat
Hukuman nasihat ini, seperti halnya hukuman peringatan dan
dihadirkan didepan sidang pengadilan, merupakan hukuman yang diterapkan untuk
pelaku-pelaku pemula yang melakukan tindak pidana, bukan karena kebiasaan melainkan karena lalaian.
d.
Celaan (Taubikh)
Hukuman
celaan ini bisa dilakukan oleh hakim dengan berbagai cara dan berbagai
perkataan yang dikehendakinya yang diperkirakan dapat mencegah pelaku dari
perbuatan pidana yang pernah dilakukannya.
Imam
Al-mawardi mengemukakan bahwa taubikh (celaan) ini bisa dilakukan oleh hakim
dengan cara memalingkan muka dari hadapan terdakwa yang menunjukkan ketidak
senangannya, atau memandangnya dengan muka yang masam dan senyuman yang sinis.
e.
Pengucilan
Pengucilan
adalah melarang pelaku untuk berhubungan dengan orang lain dan sebaliknya
melarang masyarakat untuk berhubungan dengan pelaku. Hukuman ta’zir berupa
pengucilan ini diberlakukan apabila membawa kemaslahatan sesuai dengan kondisi
dan situasi masyarakat tertentu. Dalam sistem masyarakat yang terbuka hukuman
ini sulit sekali untuk dilaksanakan, sebab masing-masing anggota masyarakatnya tidak
acuh terhadap anggota masyarakat lainnya.
f.
Pemecatan (Al-Azl)
Pengertian
pemecatan adalah melarang seseorang dari pekerjaannya dan memberhentikannya
dari tugas atau jabatan yang dipegangnya sebagai akibat pemberhentian dari
pekerjaan itu.
Hukuman
ta’zir berupa pemberhentian dari pekerjaan atau jabatan ini diterapkan terhadap
setiap pegawai yang melakukan jarimah , baik yang berhubungan dengan pekerjaan
atau jabatannya maupun dengan hal-hal lainnya. Misalnya, pegawai yang menerima
suap, melakukan korupsi, mengangkat pegawai yang tidak memenuhi persyaratan
karena ikatan keluarga (nepotisme).
g.
Pengumuman kesalahan secara terbuka (At- Tasyhir)
Tujuan
diadakannya hukuman tasyhir (pengumuman kejahatan) adalah agar orang yang
bersangkutan (pelaku) menjadi jera, dan agar orang lain tidak melakukan
perbuatan serupa. Jadi, sanksi ini memiliki daya represif dan preventif. Jarimah-jarimah
yang bisa dikenakan hukuman (tasyhir) antara lain seperti: Saksi palsu,
Pencurian, Kerusakan akhlak, menjual barang-barang yang diharamkan, seperti
bangkai dan babi.
Penerapan
sanksi tasyhir ini tidak dimaksudkan untuk menyebarluaskan kejahatan dan
kejelekan seorang, melainkan untuk mengobati mentalnya supaya dimasa yang akan
datang, ia berubah menjadi orang baik, tidak mengulangi perbutannya, dan tidak
pula melakukan kejahatan yang baru.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Jarimah ta’zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir. Pengertian
ta’zir secara bahasa adalah memberi pengajaran. Sedangkan pengertian jarimah
ta’zir adalah tindakan yang berupa edukatif (pengajaran) terhadap pelaku
perbuatan dosa yang tindkannya tidak ada sanksi had dan kifaratnya. Atau dengan
kata lain, ta’zir adalah hukuman yang bersifat edukatif yang ditentukan oleh
hakim, terhadap pelaku tindak pidana atau pelaku perbuatan maksiat yang
hukumannya belum ditentukan oleh syari’at.
Mengenai macam-macam hukuman yang ada pada jarimah ta’zir adalah
mulai dari memberi nasehat, peringatan, hukuman cambuk, penjara, dan lain-lain,
bahkan sampai hukuman mati, jika jarimah uang dilakukan benar-benar sangat
membahayakan, baik yang diraskan oleh dirinya maupun masyarakat oleh karena itu
hakim boleh memilih hukuman mulai yang paling ringan smapai yang paling berat.
Pemberian berat hukuman tersebut tentunya disesuaikan dengan jenis perbuata
atau tindak pidana yang dilakukan baik mengenai kriteria maupun factor-faktor
penyebabnya.
B.
Saran
Demikian makalah ini yang dapat kami susun,
apabila terdapat kesalahan baik berupa sistematika penulisan maupun isi
makalah, kami mengharapkan kritik dan saran sebagai pembangun. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi para pembaca umumnya dan penulis khususnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Belum ada tanggapan untuk "Jarimah Ta'zir Makalah Lengkap"
Posting Komentar