Segala bentuk konten dalam situs tokomakalah.com ini BERHAKCIPTA atau dilindungi oleh Undang-undang. jika anda ingin mendapatkan salah satu konten didalam situs ini, silahkan menghubungi kami. Informasi Selengkapnya, Klik download!
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Cakupan fikih jarimah dalam syariat islam
dikenal prinsip bahwa suatu perbuatan dapat dipandang sebagai jarimah jika
telah dinyatakan dalam nash atau dengan bahasa kenegaraan, sesuatu perbuatan
dapat dipandang sebagai jarimah jika telah diundangkan.
Dengan
adanya prinsip tersebut macam jarimah dan sangsinya akan dapat diketahui dengan
jelas dan pasti. Dengan demikian orang akan berhati-hati agar tidak sampai
melakukan jarimah yang akan berakibat penderitaan terhadap dirinya sendiri.
Dilihat dari sisi lain adanya prinsip tersebut akan mencegah terjadinya
penyalah gunaan wewenang penguasa atau pengadilan untuk menjatuhkan suatu
hukuman kepada seseorang berbeda dengan hukuman yang akan dijatuhkan terhadap
orang lain yang melakukan jarimah yang sama dengan motif yang sama pula.
B.
Rumusan Masalah
Untuk mempermudah dalam memahami tetang JARIMAH PENCURIAN dan permasalahannya,
dalam makalah ini, kami membahas tentang :
1. Apa pengertian jarimah pencurian?
2. Apa saja unsur-unsur jarimah pencurian?
3. Apa saja sanki atau hukuman pencurian?
4. Berapa kadar batas pencurian?
C.
Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui tentang
pengertian pencurian
2. Untuk mengetahui tentang
unsur-unsur pencurian
3. Untuk mengetahui tentang sanksi
atau hukuman pencurian
4. Untuk mengetahui tentang kadar
dan batas pencurian
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pencurian
Secara
etimologis sariqah adalah bentuk masdar dari kata “سرق-يسرق- سرقا” yang berarti “أخذ ماله خفية وجيلة” yaitu mengambil harta seseorang secara sembunyi-sembunyi dan
dengan tipu daya, sedangkan secara terminologis sariqah adalah pengambilan
harta yang dilakukan oleh seorang mukalaf – yang baligh dan berakal – terhadap
barang milik orang lain secara diam-diam, apabila barang tersebut mencapai
nishab (batas minimal), dari tempat simpanannya, tanpa ada unsur subhat
terhadap barang yang diambil tersebut. Besarnya nishab (batas minimal) barang
yang diambil berdasarkan hadits shahih Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, Nasa’i,
Ibnu Majah yaitu lebih dari seperempat dinar. Jadi jika barang yang diambil itu
kurang dari seperempat dinar maka tidak bisa dikategorikan sebagai pencurian
yang pelakunya diancam hukuman potong tangan.
Pencurian
menurut Topo Santoso di definisikan sebagai perbuatan mengambil harta orang
lain secara diam-diam dengan itikad tidak baik. Yang dimaksud dengan mengambil
harta secara diam-diam adalah mengambil barang tanpa sepengetahuan pemiliknya
dan tanpa kerelaannya, seperti mengambil barang di rumah orang lain ketika penghuninya
sedang tidur.
Sedangkan
pencurian menurut Mahmud Syaltut adalah mengambil harta orang lain dengan
sembunyi-sembunyi yang dilakukan oleh orang yang tidak dipercayai menjaga
barang tersebut. Menurut beliau definisi tersebut secara jelas mengeluarkan
perbuatan menggelapkan harta orang lain yang dipercayakn kepadanya (ikhtilas) dari kategori pencurian. Oleh
karena itu penggelapan harta orang lain tidak dianggap sebagai jarimah
pencurian dan tentunya tidak dihukum dengan hukuman potong tangan, tetapi dalam
bentuk hukuman lain.
H.A
Djazuli membedakan antara antara pencurian dengan penggelapan sebagai berikut :
Pertama,
dilihat dari segi hukuman. Pencurian dikenai hukuman had potong tangan, sedangkan penggelapan dikenai hukuman ta’zir dan hal ini tentu menjadi
wewenang hakim dalam penjatuhan hukuman tersebut.
Kedua,
dilihat dari segi pelaksanaan pengambilan harta tersebut. Pada pencurian,
pengambilan dilakukan secara sembunyi-sembunyi, dan sepengetahuan pemiliknya.
Sedangkan pada kasus penggelapan harta dilakukan dengan terang-terangan. Dalam
hal ini si pemilik mengira harta tersebut masih ada dan dijaga oleh orang yang
dipercayainya.
Ketiga,
dilihat dari segi tempat objek harta tersebut. Dalam pencurian harta yang
diambil tersimpan pada tempat tertentu yang memang sengaja disimpan pemiliknya,
sedangkan penggelapan penyimpanan harta tersebut tidak diketahui pemiliknya dan
hanya diketahui oleh orang yang
dipercayai, sedangkan pemilik hanya mengetahui bahwa harta itu ada. Oleh karena
itu, persyaratan tempat dalam kasus penggelapan tidak disyaratkan.
Keempat, dilihat
dari ukuran harta. Pada pencurian dikenal dengan ukuran-ukuran tertentu yang
mengakibatkan jatuhnya hukuman had
atau yang dikenal dengan term nisbah.
Sedangkan pada kasus penggelapan tidak dikenal ukuran-ukuran tertentu sejauh
mana penggelapan tersebut harus dikenakan hukuman.
B.
Unsur-unsur Pencurian
Adapun
unsur-unsur pencurian mengacu pada definisi pencurian itu sendiri. Dari
definisi tersebut, dapat kita rinci sebagai berikut :
Pertama,
pengambilan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, seperti telah disinggung,
tidak termasuk jarimah pencurian jika hal tersebut dilakukan dengan
sepengetahuan pemiliknya.
Kedua,
yang dicuri harus berupa harta kongkret sehingga barang yang dicuri adalah barang
yang dapat bergerak, dipindah-pindahkan, disimpan oleh pemiliknya pada
penyimpanan yang layak dan dianggap sebagai sesuatu yang berharga. Tentu ada
batasan tertentu atau kadar yang menyebabkan jatuhnya had.
Ketiga,
harta yang dicuri adalah sesuatu yang berharga, setidaknya menurut versi
pemiliknya. Inilah yang menjadi dasar pertimbangan, bukan atas dasar pandangan
si pencuri. Karena menganggap berharga, pemilik barang menyimpannya ditempat
tertentu, yang aman menurut anggapnnya. Oleh karena itu, mengambil atau
memindahkan barang atau harta yang tidak mempunyai tempat penyimpanan tertentu
mrnjadi alasan kesyubhatan bagi jarimah ini.
Keempat,
harta diambil (dicuri) pada waktu terjadinya pemindahan adalah harta orang lain
secara murni dan orang yang mengambilnya tidak mempunyai hak pemilikan
sedikitpun terhadap harta tersebut. Umpamanya, harta kelompok atau harta
bersama orang yang mencurinya mempunyai hak atau bagian dari harta tersebut.
Oleh karena itu, kalau dia mengambil sebagian- walaupun dinilai melewati nishab- tidak dianggap sebagai jarimah pencurian sebab hak dia yang
melekat pada barang yang diambil menjadikan kesyubhatan.
Kelima,
seperti pada jarimah-jarimah lain, terdapatnya unsur kesengajaan untuk memiliki
barang tersebut atau ada itikad jahat pelakunya. Oleh karena itu, seandainya
barang tau harta itu terbawa tanpa sengaja, sekalipun dalam jumlah besar dan
mencapai nisab, tidaklah dianggap sebagai jarimah pencurian, paling-paling
dianggap sebagai kelalaian dan hukumannya pun hanya sekedar peringatan untuk
berhati-hati.
C.
Sanksi atau Hukuman Pencurian
1.
Dasar
sanksi hukum bagi pencuri di dalam Al-Qur’an
Allah berfirman didalam
Al-Qur’an surah Al-Ma’idah ayat 38 sebagai berikut:
ARAB
Artinya
:
“laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan
dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
2.
Dasar
sanksi hukum bagi pencuri didalam Al-Hadis
-
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Katanya: Sesungguhnya Rasulullah saw. Pernah
bersabda: Seorang pezina tidak akan berzina jika dia berada di dalam keimanan.
Seorang pencuri tidak akan mencuri jika dia di dalam keimanan, yaitu iman yang
sempurna. Begitu juga seorang peminum
arak tidak akan meminum arak jika dia berada di dalam keimanan.
-
Diriwayatkan dari sayyidina Aisyah ra. Katanya:
Rasulullah saw. Memotong tangan seseorang yang mencuri harta yang senilai satu
perempat dinar ke atas.
-
Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra. Katanya:
Sesungguhnya Rasulullah saw. Pernah memotong tangan seorang yang mencuri sebuah
perisai yang bernilai perempat dinar ke atas.
Dan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ad-Daruqthni
dari Abu Hurairah yang artinya :
Jika ia mencuri potonglah tangannya (yang kanan), jika ia mencuri lagi
potonglah kakinya (yang kiri), kemudian apabila ia mencuri lagi potonglah
kakinya (yang kanan)
Para fuqaha telah sepakat bahwa dalam
pengertian kata ‘yad (tangan) termasuk juga rijl (kaki), apabila
seseorang melakukan pencurian untuk pertama kali maka tangan kanannya yang
dipotong, dan apabila ia mencuri lagi untuk kedua kalinya maka kaki kaki
kirinya yang dipotong. Seorang pencuri ketika meniatkan perbuatannya maka
sebenarnya ia menginginkan agar kekayaannya ditambah dengan kekayaan orang lain
dan ia meremehkan usaha-usaha yang halal. Ia tidak mencukupkan dengan hasil
usahanya sendiri, melainkan mengharapkan hasil usaha orang lain, agar dengan
demikian ia bertambah daya nafkahnya tanpa susah-susah bekerja atau dengan
demikian terjaminlah hari depannya. Sebagai imbangan dari faktor tersebut,
syariat islam menetapkan hukuman potong tangan dan kaki karena dengan
dipotongnya tangan atau kaki sebagai alat yang utama penyambung kerja, akan berkuranglah
usaha dan kekayaannya. Dan setelah hukum islam diterapkan dengan konsisten maka
ketenteraman dan keamanan dapat terwujud.
Meskipun beberapa orang menganggap bahwa
hukuman potong tangan merupakan hukuman yang paling kejam dan tidak
berperikemanusiaan, tetapi pendapat tersebut tidaklah benar. Sebab mereka hanya
melihat dari sisi lahirnya saja, bukan memahami maksud dan tujuannya. Syariat
islam memandang bahwa hukuman harus berisi ketegasan, bukan kelemahan dan
kelunakan. Hukuman-hukuman yang bersifat ringan, lemah dan lunak seperti
penjara akan dianggap enteng oleh para pelaku jarimah. Akibatnya meskipun
seseorang telah dijatuhi hukuman dalam tindak pidana yang dilakukannya, maka ia
tidak segan-segan ingin mengulangi perbuatannya lagi dan lagi. Sebaliknya
apabila hukuman itu kelihatannya keras dan tegas maka pelaku akan berpikir dua
kali untuk mengulangi perbuatannya dan orang lain pun akan takut untuk
melakukan perbuatan semacam itu. Dengan demikian fungsi pencegahan ini
merupakan salah satu tujuan hukuman akan dapat tercapai.
Hukuman potong tangan
dalam pencurian hanya dijatuhkan jika terpenuhi syarat-syarat berikut:
1. Harta yang dicuri diambil secara
diam-diam, dengan tanpa diketahui. Yang dimaksud diambil disini berarti harta
tersebut sudah berpindah dari tempat penyimpanannya dan sudah berpindah dari
penguasaan si pemilik ke penguasaan si pencuri.
2. Barang yang dicuri harus memiliki nilai.
Hukuman potong tangan tidak akan dijatuhkan bagi pencuri rumput atau pasir atau
juga pencuri barang-barang yang tidak legal seperti minuman angguratau daging
babi.
3. Barang yang dicuri harus disimpan dalam
tempat yang aman, baik dalam penglihatan maupun disuatu tempat yang aman.
4. Barang yang dicuri harus milik orang
lain. Sebagai konsekuensi, hukuman potong tangan tidak dijatuhkan jika harta
yang dicuri telah menjadi milik si pencuri atau jika ia memiliki sebagian dari
barang itu atau ia memiliki hak atas barang itu.
5. Pencurian itu harus mencapai nilai
minimum tertentu (nishab). Imam Malik
mengukur nisab tersebut sebesar ¼ dinar atau lebih, sedangkan Abu Hanifah
menyatakan bahwa nishab pencurian itu senilai 10 dirham atau 1 dinar.
Menurut Abu Hanifah,
tidak wajid dikenai hukuman potong tangan pada pencurian harta dalam keluarga
yang mahram. Karena mereka diperbolehkan keluar masuk tanpa izin. Sedangkan
menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, seorang ayah tidak dikenai hukuman potong
tangan karena mencuri harta anaknya, cucunya, dan seterusnya sampai kebawah.
Demikian pula sebaliknya, anak tidak dapat dikenai sanksi potong tangan, karena
mencuri harta ayahnya, kakeknya, dan seterusnya ke atas. Dan menurut Imam Abu
Hanifah tidak ada hukuman potong tangan pada kasus pencurian antara
suami-istri.
D.
Kadar dan Batas Pencurian
Mengenai
batas yang menyebabkan dijatuhkannya hukum potong, terjadi perbedaan pendapat
diantara beberapa ulama. Hal tersebut disebabkan keumuman ayat 83 surat Al-
Maidah. Diantara ulama, ada yang meniadakan nishab pencurian, artinya
sedikit apalagibanyak barang yang dicuri maka hukumannya sama-sama dihukum
potong tangan. Adapun jumhur fuqaha’mensyaratkan adanya nishab (batas tertentu)
sehingga seorang pencuri dapat dikenai hukum potong tangan. Namun, hal ini pun
mendapat perbedaan pendapat tentang batasan atau nishab tersebut. Imam Syafi’i
dan Imam Malik mengatakan seperempat dinar, sedangkan Imam Abu Hanifah
mengatakan sepuluh dirham atau satu dinar, yang berdasarkan pada hadis nabi :
Tulis arab
Artinya
:
“Tidaklah
di potong tangan pencuri, kecuali pada satu dinar atau sepuluh dirham.”
Disamping
itu, ada yang mengatakan (seperti Ibnu Rusyd) bahwa batasan tersebut adalah
empat dinar, seperti hadist yang telah dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Imam
Muslim, yang meliputi perawi Siti Aisyah :
Tulis arab
Artinya
:
“Janganlah
dipotong tanagn pencuri, kecuali pada empat dinar atau lebih.”
Mengenai
batas tangan yang dipotong, Imam Asy’-Syafi’i, Imam Abu Hanifah, Imam Malik,
Imam Ahmad, dan Imam Abu Daud Azh-Zhahiri sepakat bahwa batas tangan yang di
potong adalah dari pergelangan tangan ke bawah. Mengenai pengulangan perbuatan
setelah yang pertama di potong tangannya, pencurian yang kedua diotong tangan
kirinya, dan pencurian yang selanjutnya dihukum dengan hukuman ta’zir. Demikian
pendapat mazhab Zhahiri. Disamping itu, ada yang berpendapat bahwa pencurian
yang selanjutnya dihukum dengan ta’zir. Pendapat di atas menyangkal
hukuman potong kaki kiri pada pencurian yang kedua kalinya, pencurian ketiga
kali di potong kaki kiri dan yang keempat kalinya dipotong kaki kanannya, sebab
hukuman potong kaki tidak disebutkan dalam ayat di atas, seperti pendapat Imam
Asy-Syafi’i dan Imam Malik. Demikian pula dengan Imam Abu Hanifah, hanya saja
pada pencurian yang ketiga beliau menghukuminya dengan hukuman penjara sampai
tobat.
Mengenai
status yang di curi, sebagian ulama, seperti Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad,
mengatakn bahwa barang yang dicuri harus dikembalikan seandainya masih ada dan
menggantinya jika telah hilang walaupun pelakunya telah menjalani hukuman.
Sedangkan Imam Abu Hanifah mengatakan, sanki hudud yang telah dijatuhkan tidak
harus diikuti dengan ganti rugi barang yang hilang.
Jika yang dicuri itu bukan emas atau perak, maka menurut
Imam Malik kadarnya diukur kepada harga perak yaitu tiga dirham.
Sebagaimana disinyalir oleh Ibnu Rusyd: Imam Malik berkata dalam perkataannya
yang masyhur “Ditentukan dengan beberapa dirham bukan dengan seperempat dinar.
Sedangkan menurut Imam Syafi’i kadarnya ditentukan dengan harga dinar, sebab
harga dinar pada waktu itu menjadi ukuran, sebagaimana ia berkata: Pencuri
tidak dipotong (tangannya), sehingga ia mencuri sama dengan seperempat dinar
paling sedikit. Adapun Ulama Hanabilah menetapkan seperempat dinar atau lebih,
sebagaimana telah disinyalir oleh Ibnu Qudamah: Dan menurut kami adalah
sebagaimana sabda Nabi SAW: tidak divonis, potong tangan kecuali pada seperempat
dinar atau lebih.
Apabila barang yang dicurinya tidak mencapai Nishab, maka
tidak ada hukum potong tangan, akan tetapi diganti dengan hukum Ta’zir.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Secara
etimologis sariqah adalah bentuk masdar dari kata “سرق-يسرق- سرقا” yang berarti “أخذ ماله خفية وجيلة” yaitu mengambil harta seseorang secara sembunyi-sembunyi dan
dengan tipu daya, sedangkan secara terminologis sariqah adalah pengambilan
harta yang dilakukan oleh seorang mukalaf – yang baligh dan berakal – terhadap
barang milik orang lain secara diam-diam, apabila barang tersebut mencapai
nishab (batas minimal), dari tempat simpanannya, tanpa ada unsur subhat
terhadap barang yang diambil tersebut.
Adapun
unsur-unsur pencurian mengacu pada definisi pencurian itu sendiri. Dari
definisi tersebut, dapat kita rinci sebagai berikut :
1.
Pengambilan
yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
2.
Yang
dicuri harus berupa harta kongkret sehingga barang yang dicuri adalah barang
yang dapat bergerak.
3.
Harta
yang dicuri adalah sesuatu yang berharga, setidaknya menurut versi pemiliknya.
4.
Harta
diambil (dicuri) pada waktu terjadinya pemindahan adalah harta orang lain
secara murni.
5.
Terdapatnya
unsur kesengajaan untuk memiliki barang tersebut atau ada itikad jahat
pelakunya.
Para fuqaha telah sepakat bahwa dalam
pengertian kata ‘yad (tangan) termasuk juga rijl (kaki), apabila
seseorang melakukan pencurian untuk pertama kali maka tangan kanannya yang
dipotong, dan apabila ia mencuri lagi untuk kedua kalinya maka kaki kaki
kirinya yang dipotong. Seorang pencuri ketika meniatkan perbuatannya maka
sebenarnya ia menginginkan agar kekayaannya ditambah dengan kekayaan orang lain
dan ia meremehkan usaha-usaha yang halal. Ia tidak mencukupkan dengan hasil
usahanya sendiri, melainkan mengharapkan hasil usaha orang lain, agar dengan
demikian ia bertambah daya nafkahnya tanpa susah-susah bekerja atau dengan
demikian terjaminlah hari depannya. Sebagai imbangan dari faktor tersebut,
syariat islam menetapkan hukuman potong tangan dan kaki karena dengan
dipotongnya tangan atau kaki sebagai alat yang utama penyambung kerja, akan
berkuranglah usaha dan kekayaannya. Dan setelah hukum islam diterapkan dengan
konsisten maka ketenteraman dan keamanan dapat terwujud.
B.
Saran
Makalah yang kami buat pastilah masih jauh dari
kesempurnaan baik dari segi tulisan atau kata-kata yang kurang cocok di pikiran
pembaca, maka dengan tangan terbuka kami menerima masukan dari para pembaca
yang budiman baik yang berupa saran, keritik yang bersifat konsrtuktif. karena
dengan saran dan kritik pembaca dapat membantu untuk lebih baik dalam
penyusunan makalah kami selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Belum ada tanggapan untuk "Jarimah pencurian Makalah Lengkap"
Posting Komentar