Segala bentuk konten dalam situs tokomakalah.com ini BERHAKCIPTA atau dilindungi oleh Undang-undang. jika anda ingin mendapatkan salah satu konten didalam situs ini, silahkan menghubungi kami. Informasi Selengkapnya, Klik download!
ISLAM DAN NEGARA KESATUAN
REPUBLIK INDONESIA (NKRI) DALAM PERSPEKTIF SEJARAH
A.
PENDAHULUAN
Masa peralihan dari abad ke 19 ke abad 20 bukan hanya
menjadi saksi dari semakin melekatnya identitas keislaman dengan identitas
kebangsaan, tetapi juga menjadi saksi proses perumusan langkah-langkah baru
menuju terbebasnya tanah air dari penjajahan bangsa asing. Penduduk di
kepulauan ini tidak saja memerlukan jati diri, tetapi juga memerlukan
simbol-simbol tertentu untuk menegaskan hasrat mereka yang hendak merdeka,
bersatu dan berdaulat di tanah airnya sendiri. Sesudah
mereka menemukan Islam sebagai jati diri, mereka mencari sebuah nama untuk
kepulauan ini yang lebih terasa merajuk pada persatuan dan kesatuan, maka
lahirlah nama Indonesia.
Sebagaimana
kita ketahui, selama bertahun-tahun, Dunia Barat dikuasai oleh kaum agamawan
yang berpusat di Roma. Sebagian orang barat tidak menyetujui dominasi kekuasaan
oleh kaum agamawan. Di bidang agama, gerakan protes terhadap dominasi kaum
agamawan itu melahirkan Protestanianisme, dan sebagainya. Sedangkan di dunia
politik sikap itu kemudian melahirkan gagasan pembentukan nation-state (negara
bangsa). Akibat sampingan dari sikap tidak menyetujui dominasi kaum agamawan
itu, memunculkan sikap anti agama di sementara kaum politisi barat. Selain itu
alasan yang mengilhami munculnya semangat nasionalisme sebagai gerakan politik,
juga adalah adanya peran negara yang sentralistik dengan sistem sekularisasi
kehidupan dari hal yang irasional, pemaksaan pendidikan suatu jenis bahasa,
melemahnya pengaruh kekuasaan gereja serta sekte, dan perkembangan kapitalisme
serta industrialisasi telah turut memberi andil dalam menumbuhkan semangat
kebangsaan. Inilah awal lahirnya nasionalisme modern.
Gagasan
kebangsaan itu kemudian menarik perhatian Soekarno (Bung Karno), seorang pemuda
aktifis kemerdekaan yang terkenal gigih, bersama sejumlah pemimpin lain di
Indonesia. Maka Bung Karno pun mengambil alih gagasan tersebut menjadi gagasan
perjuangan di Indonesia yang kemudian dirumuskan menjadi nasionalisme
Indonesia.
Makalah
ini akan membahas tentang peran umat Islam dalam merumuskan dasar Negara dan
pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta nasionalisme Islam
Indonesia.
B.
NASIONALISME
ISLAM, PANCASILA DAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA (NKRI)
Dalam
Islam, gerakan nasionalisme berkembang seiring dengan meluasnya imperialisme
bangsa eropa ke negara muslim. Terdapat dua isu besar yang mewarnai dunia
muslim abad ke 19, ketika iprealisme mendominasi dunia muslim, tak terkecuali
Indonesia yaitu bangkitnya gerakan kemerdekaan dan isu nasionalisme.
Ada dua bentuk
nasionalisme yang berhadapan dan sering kali bersitegang pada masa awal
pembentukan NKRI yaitu “ masyarakat terbuka” dan “masyarakat tertutup”.
Masyarakat terbuka direpresentasikan dengan bentuk negara dengan sistem yang
transparan tidak membedakan ras atau etnik, dan berbasis pada masyarakat politk
serta kebebasan untuk menentukan nasib sendiri. Adapun masyarakat tertutup
lebih menekankan bentuk negara otokrasi, membedakan ras dan etnis, serta
terikat pada determinisme historis, yakni bahwa bentuk masyarakat ideal telah
terbentuk di masa lalu.
Bung
karno, Dengan sikapnya yang apresiatif kepada Islam sebagai jati diri penduduk
di kepulauan nusantara, merumuskan nasionalisme yang sama sekali berbeda dengan
yang ada di barat yang cenderung sekuler (anti agama). Meskipun tetap berpegang
kepada pendapat perlunya memisahkan agama dari negara, nasionalisme yang
dirumuskan dan dikembangkan oleh Bung Karno dan yang kemudian menjadi
nasionalisme Indonesia, mengambil bentuk menghormati agama.
Untuk
menunjukkan kesungguhannya hendak memberi kemerdekaan kepada bangsa Indonesia,
pada tanggal 1 Maret1945 Jepang membentuk Dokuritsu Zjubi Tjoosakai (Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia-BPUPKI). Dalam
melaksankan tugasnya , BPUPKI -- yang pada tanggal 7 Agustus 1945 mengubah
namanya menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)- mengadakan dua
kali sidang resmi dan satu kali sidang tidak resmi, yang seluruhnya berlangsung
di Jakarata sebelum Jepang dikalahkan Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945.
Sidang-sidang resmi diadakan untuk membahas masalah dasar negara,
kewarganegaraan, serta rancangan Undang-undang Dasar, dipimpin langsung oleh
ketua BPUPKI, Radjiman.
Sidang
pertama berlangsung 28 Mei -1 juni 1945, membahas dasar negara. Sidang kedua
berlangsung antara tanggal 10-17 juli 1945 membahas bentuk negara, wilayah
negara, kewarganegaraan, rancangan Undang-undang dasar, ekonomi dan keuangan,
pembelaan, pendidikan dan pengajaran.
Dari 62
anggota BPUPKI itu, kemudian diambil sembilan orang yan dianggap mencerminkan
aspirasi rakyat. Mereka ialah: Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. A.A.
Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdoel Kahar Moezakkir, H.Agus Salim, Mr.
Achmad Soebardjo, A. Wachjd Hasjim, dan Mr. Muhammad Yamin. Kesembilan orang
itulah, disebut Panitia Kecil atau Panitia Sembilan, yang kemudian merumuskan
apa yang sekarang kita kenal sebagai Jakarta Charter atau Piagam Jakarta 22
Juni 1945 yang kontroversial itu.
Perumusan
Piagam Jakarta menunjukkan sedemikian rupa bahwa keinginan orang Islam di
Indonesia perlu dijamin identitasnya. Kewajiban mereka melaksanakan Syariat
islam perlu dijamin secara konstitusioanal. Ini bukan berarti umat Islam
menghendaki pemisahan, melainkan karena posisinya yang mayoritas itulah mereka
memerlukan jaminan konstitusional dalam melaksanakan syari‟at
agamanya. Hal ini dikarenakan melaksanakan syariat Islam itu merupakan
kewajiban umat islam. Mendirikan negara tanpa ada jaminan terhadap kewajiban
melaksanakan syari‟at,
memberi kesan kurang kuatnya posisi konstitusional kita di negara ini. Lagi
pula, dengan memberikan jaminan konstitusional kepada penduduk mayoritas,
stabilitas negara yang akan dilahirkan pasti menjadi sangat lebih terjamin.
Demikian argumentasi para pendukung penegakan Syariat Islam di Indonesia pada
waktu itu.
Presiden
Soekarno pada tanggal 10 November 1956 melantik para anggota Majelis
Konstituante yang bertugas bersama-sama dengan pemerintah secepatnya menetapkan
Undang-Undang dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Udang-Undang
Dasar sementara.
Di Konstituante
ini terjadi bagaimana tajamnya debat antara para pemimpin Indonesia kaliber
nasional yang dengan penuh keyakinan mengemukakan pendiriannya masing-masing.
Terlepas dari perbedaan-perbedaan yang sangat tajam, kita harus menghargai
mereka oleh karena kesungguhan yang telah mereka lakukan. Dua pendapat akhirnya
mengkristal dalam rapat konstituante, Pertama, Islam sebagai dasar negara yang
didukung oleh murni kaum muslim, dan Pancasila sebagai Dasar Negara yang
didukung oleh kaum Nasionalis yang terdiri dari kristen, katolik, Murba,
komunis dan sebagian kaum muslim tentunya.
Dalam
hal ini kita mencatat tujuh peristiwa penting berkaitan dengan penemuan dan
peneguhan kembali jati diri bangsa itu, yakni: (1) 1 juni 1945 ketika untuk
pertama kalinya, dalam sidang BPUPKI, Bung Karno secara pribadi menawarkan lima
rumusan yang kemudian dia beri nama Pancasila, (2)22 Juni 1945 ketika Panitia
sembilan menyepakati piagam jakarta sebagai preambule UUD 1945 dengan
memasukkan anak kalimat”…dengan kewajiban melaksanakan syari‟at Islam
bagi para pemeluknya”. Anak kalimat tersebut oleh Panitia Sembilan dan rapat
besar BPUPKI disepakati sebagai rumusan kompromi terbaik antara kaum nasionalis
dan kalangan Islam, (3) 18 Agustus 1945 ketika anak kalimat “…dengan kewajiban
melaksanakan syari‟at Islam
bagi para pemeluknya” dicoret, (4) 6 Februari dan 15 Agustus 1950 dengan
berlakunya Konstitusi RIS dan UUD Sementara tahun 1950 terjadi perubahan
redaksional terhadap preambule UUD 1945 di sana-sini, (5) 5 Juli 1959, saat Piagam
jakarta dinyatakan menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan
konstitusi, (6) 22 juli 1959 saat Dekrit Presiden disetujuai secara aklamasi
oleh DPR hasil pemilihan umum 1955, dan (7) 5 Juli 1966 saat MPRS secara
aklamasi meneguhkan kesepakatan DPR hasil pemilihan umum 1955 mengenai dekrit
Presiden 5 juli 1959. Peristiwa terkahir itu, yang terjadi di awal Orde Baru,
membuktikan bahwa Pancasila dan UUD 1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta,
memang telah diterima sebagai kenyataan oleh seluruh bangsa Indonesia.
Pancasila
adalah kesepakatan luhur antara semua golongan yang hidup di tanah air. Namun,
sebagai sebuah kesepakatan, seluhur apapun, tidak akan banyak berfungsi jika
tidak didudukkan dalam status yang jelas. Karenanya, kesepakatan luhur bangsa
kita itu akhirnya dirumuskan sebagai ideologi bangsa dan falsafah negara.
Ideologi bangsa, artinya setiap warga negara republik Indonesia terikat oleh
ketentuan-ketentuannya yang sangat mendasar yang tertuang dalam kelima silanya
yang terdapat dalam pembukaan UUD 45.
“…Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha
Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Pandangan
hidup dan sikap warga negara secara keseluruhan haruslah bertumpu pada
pancasila sebagai keutuhan, bukan hanya masing-masing sila. Sedangkan sebagai falsafah
negara, Pancasila berstatus sebagai kerangka berfikir yang harus diikuti dalam
menyusun undang-undang dan produk-produk hukum yang lain, dalam merumuskan
kebijakan pemerintah dan dalam mengatur hubungan formal antara lembaga-lembaga
dan perorangan yang hidup dalam kawasan negara ini. Tata pikir seluruh bangsa
ditentukan lingkupnya oleh sebuah falsafah yang harus terus menerus dijaga
keberadaan dan konsistensinya oleh negara, agar kontinuitas pemikiran
kenegaraan yang berkembang juga akan terjaga dengan baik.[1][9]
Nasionalisme
yang tumbuh dari kalangan umat Islam terbentuk atas dorongan nilai islam yang
menekankan kecintaan kepada negara yang dianggap sebagai bagian dari keimanan
(Hubbul wathan min al-iman). Pada umumnya nasionalisme sebagai paham yang
terkait dengan konsep negara bangsa (nation-state) menguat di negara muslim
pada abad ke-20 yang kemudian mengantarkannya kepada kemerdekaan dari
penjajahan. Akan tetapi dalam banyak kasus, nasionalisme yang berkembang di
dunia muslim bukan lagi nasionalisme relegius tapi lebih pada nasionalisme
sekuler.
Di
Indonesia, nasionalisme Islam melahirkan Pancasila sebagai ideologi negara.
Digantinya sila pertama Piagam Jakarta “Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha
Esa” pada sidang PPKI 18 Agustus 1945 merupakan bagian terpenting dari
kesadaran nasionalisme umat Islam secara kolektif.
Mayoritas
umat Islam Indonesia menilai tidak ada pertentangan antara Islam dan Pancasila.
Namun demikian, tidak sedikit pula yang beranggapan bahwa Islam dan pancasila
tidak dapat berdampingan sebagai ideologi dan keyakinan. Sebagian kelompok
muslim yang coba mempertentangkan antara Pancasila dengan islam kiranya
termasuk muslim yang tak mampu memahami ajaran pancasila secara utuh (kaffah).
Bukankah sila-sila yang terangkum dalam Pancasila merupakan bagian dari
ajaran-ajaran Islam, mulai dari nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, keadilan,
dan persaudaraan universal? Pancasila adalah falsafah negara Indonesia yang
mencerminkan kondisi bangsa kita sangat plural, baik dari segi agama, suku,
budaya, dan sebagainya.
Dari
paparan di atas menjadi jelas bahwa antara Islam dan nasionalisme bukan sesuatu
yang bertentangan. Nilai-nilai nasionalisme ada dalam ajaran Islam. Nasionalisme
Islam tidak sebatas dilandasi oleh tanggung jawab sosial berbasis pada
geografis dan etnis, melainkan lebih didasari pada keimananan dan kecintaan
kepada sesama umat manusia. Terkait dengan bentuk negara Ibnu Taymiyyah
berpendapat bahwa menegakkan negara merupakan keharusan doktrinal dan praktis,
dan sesuai dengan pandangan klasik dari al-Asy‟ari
beserta tokoh-tokoh lainnya. Menurutnya Allah telah membuat manfaat-manfaat
agama dan manfaat dunia tergantung kepada para pemimpin, tidak perduli apakah
Negara tersebut merupakan salah satu asas agama atau bukan. Ia tidak tertarik
dengan institusi imamah (teokratis); ia hanya menginginkan supremasi agama.
Baginya bentuk dan struktur pemerintahan tidak penting atau paling-paling
merupakan hal yang sekunder baginya, yang terpenting adalah pelaksanaan
syari’ah.[2][10] Secara
teologis, bagi kaum muslimin, Islam sebagai agama dipandang sebagai sebuah
perangkat sistem kehidupan yang komplek dan mumpuni dan diyakini merupakan
mekanisme yang ampuh dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan yang
dihadapi, karena sifat sakralitasnya yang kuat disebabkan ia berasal dari
Tuhan, dan sempurna disebabkan karena ia merupakan risalah penutup bagi umat
manusia. Universalitas Islam di atas akan berubah bentuknya ketika Islam sebagai
agama dilihat dari sudut pandang sosiologis. Ada dua keadaan ketika pemaknaan
terhadap Islam dilakukan, sehingga meniscayakannya turun pada tataran-tataran
partikular dalam kehidupan seorang muslim. Pertama, perubahan zaman yang selalu
ditandai dengan hal-hal yang belum terpikirkan sebelumnya. Kedua, perbedaan
karakteristik tempat dimana Islam itu tumbuh. Kedua keadaan ini mutlak
berimplikasi langsung pada tatanan sosial masing-masing masyarakat. Dapatlah
dipahami bahwa penegakan atau penerapan syari’ah secara struktural tidaklah
penting, namun yang lebih penting adalah substansi penerapan syari’ah itu di
tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Nasionalisme
Islam Indonesia bermakna luas, tidak bersifat sektarian. Nasionalisme Islam
Indonesia dilandaskan pada asas kebhinekaan. Karenanya, umat Islam yang
berpandangan luas tentunya akan menerima Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) yang Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila sebagai dasar negara. Hal
demikian ini tentu saja tidak bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan dapat
dikatakan sejalan dengan misi Rasulullah SAW sebagai rahmat bagi seluruh alam
sebagaimana firman Allah yang tersebut dalam al-Qur’an Surat al-Anbiyaa’ 107
sebagai berikut:
وما
أرسلناك إلاّ رحمة للعالمين (الأنبياء
١٠٧)
“Dan tidaklah engkau (Muhammad) diutus kecuali agar
menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (QS. al-Anbiyaa’ (21): 107).
C.
KESIMPULAN
Secara historis perumusan Pancasila sebagai dasar negara
maupun pembetukan Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak terlepas dari
peran aktif yang sangat besar dari umat Islam. Perubahan sila pertama yang
berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan suatu bentuk
toleransi dan kepedulian umat Islam yang sangat besar terhadap keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Nasionalisme
yang tumbuh dari kalangan umat Islam terbentuk atas dorongan nilai islam yang
menekankan kecintaan kepada negara yang dianggap sebagai bagian dari keimanan.
Nasionalisme Islam Indonesia bermakna luas, tidak bersifat sektarian.
Nasionalisme Islam Indonesia dilandaskan pada asas kebhinekaan. Tidak ada
pertentangan antara Islam dan nasionalisme, bahkan nasionalisme itu sendiri
merupakan bagian dari ajaran Islam.
Belum ada tanggapan untuk "Artikel islam dan NKRI perspektif sejarah"
Posting Komentar